Kado untuk Bu Muniarti

“PA, boleh Tari bertanya?”
“Boleh sayang. Ada apa?” jawab Papa.
“Kalau orang biasa membaca sambil memicingkan mata itu kenapa ya, Pa?”
Papa tersenyum sambil mengelus rambut Tari. Setiap malam sebelum tidur Tari menceritakan pengalamannya di sekolah kepada Papa. Terutama tentang Bu Muniarti, guru sekaligus wali kelas IV yang sangat diidolakannya. Tapi malam ini agak berbeda dari biasanya. Ia mengawali pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.
“Oh ya, memang siapa yang suka membaca seperti itu, Nak?” sahut Papa beberapa saat kemudian.
Ilustrasi%2BCernak%2BSuara%2BMerdeka%2Bedisi%2BMinggu%2B5%2BNovember%2B2017
“Bu guru, Pa. Bu Muniarti. Beliau akhir-akhir ini sering terlihat membaca sambil memicingkan mata, lalu beberapa kali mengucek matanya. Seperti orang kesulitan membaca, Pa.”
“Oh ya. Biasanya sih kalau sudah tua, itu gejala hiperopia atau yang disebut juga rabun dekat. Karena salah satu penyebab penyakit mata itu adalah faktor usia Nak,” jelas Papa yang memang seorang dokter di sebuah rumah sakit.
“Lalu bagaimana cara mengatasinya, Pa?” tanya Tari.
“Di antaranya bisa dikurangi dengan memakai kacamata berlensa cembung atau kacamata plus, Nak. Tapi Papa sarankan beliau untuk memeriksa atau tes penglihatan dulu ke dokter mata,” kata Papa.
“Oh begitu ya, Pa?”
“Ya Nak. Karena itu, sejak dini kita harus menjaga kesehatan mata kita. Setidaknya dengan banyak mengonsumsi vitamin A, seperti buah pepaya, apel, nanas, dan anggur.”
Dari penjelasan Papa tentang penyakit mata, Tari mendapat ide, yakni memberikan Bu Muniarti kado berupa kacamata pada Hari Guru esok. Sebagai bendahara kelas, Tari akan mengusulkan idenya itu kepada ketua kelas, Joni.
***
AKHIRNYA di suatu kesempatan, mereka berkumpul di rumah Joni untuk merembuk rencana mulia itu. Semua murid kelas IV pun sepakat dengan ide Tari. Namun, mengingat harga kacamata relatif tinggi, Joni mengajak teman-teman untuk menyisihkan uang saku selama beberapa minggu. Dan nantinya diserahkan langsung kepada Tari selaku bendahara.
***
MENTARI bersinar cerah, secerah rencana siswa-siswa kelas IV SD Harapan Bangsa. Pagi itu, ruang kelas didekorasi indah oleh semua siswa. Khususnya di kelas Tari. Kelas dihiasi dengan pita-pita yang tersulur sepanjang kelas. Ada pita kelap-kelip, balon orin, dan spanduk yang ditulis dengan tangan sendiri. Lagu hymne “Guru” menggema di ruang kelas.
Selepas upacara peringatan Hari Guru atau puncak acara, teman-teman Tari berkumpul di dalam kelas. Kacamata itu dikemas di dalam kotak kado yang besar dan diletakkan di sebuah nampan. Tari sendiri yang membawa kado itu. Sementara, Joni selaku ketua kelas bertugas untuk menyerahkannya kepada Bu Muniarti.
“Selamat Hari Guru, Bu. Terimalah kado kecil dari kami sebagai ungkapan terima kasih kami,” ucap Joni.
Muka Bu Muniarti memerah dan tersenyum bahagia.
“Ayo, Bu, dibuka dong kadonya?” pekik teman-teman kelas.
Kado itu pun dibuka oleh Bu Muniarti di depan semua siswa. Sontak dia terkejut, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Terima kasih, Nak!” lirihnya beberapa saat kemudian.
“Kami seharusnya yang berterima kasih Bu atas ilmu yang Ibu ajarkan pada kami semua. Oh ya Bu, ini ide dari Tari kok,” ungkap Joni.
Bu Muniarti merengkuh dan memeluk tubuh mungil Tari. Semua siswa mengitari keduanya sambil menyanyikan lagu hymne “Guru”. Beberapa tetes air kemudian membasahi baju bagian pundak Tari. Tapi Tari tak menyadari itu. Ia larut dalam gegap gempita bersama semua kawan. (58)
Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Wardie Pena
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” 5 November 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ