Radio Kakek

Tiga bulan sekali Niken berkunjung ke rumah kakek dan nenek di kampung. Biasanya, Jumat sore Niken berangkat diantar ayah. Mengapa Jumat? Karena SD Niken menerapkan lima hari sekolah, sehingga Sabtu libur. Kemudian ayah akan menjemput Niken pada Minggu siang atau sore. Dua hari menikmati libur di kampung kakek sungguh menyenangkan.
Di rumah kakek ada sebuah radio kuno. Bentuknya kotak terbuat dari kayu. Suara radio itu berisik dan hanya ada satu stasiun radio yang bisa didengar. Kata ayah, radio kakek itu masih berfrekuensi AM yang daya jangkau siarannya pendek. Berbeda dari radio zaman sekarang yang sudah FM, yang jangkauan siarannya lebih jauh, bisa didengar sampai ke kota-kota lain dan bersuara jernih.
Biasanya malam sebelum tidur, kakek mendengarkan lagu-lagu keroncong. Kata kakek, kalau malam Minggu, radio antiknya itu menyiarkan wayang kulit dan kakek mendengarkannya sampai tuntas menjelang subuh.
Tetapi bila Niken datang berlibur, Kakek mematikan radio itu kalau malam menjelang tidur.
“Mengapa Kakek tidak mendengarkan wayang kulit, Kek?” tanya Niken ketika bersiap untuk tidur.
Kakek yang duduk di tepi ranjang Niken, tersenyum.
“Suara radionya berisik. Nanti kamu tidak bisa tidur?” jawab Kakek.
“Mengapa kakek tidak membeli radio yang baru, yang suaranya tidak berisik?”
“Itu radio kenangan. Kakek menabung berbulan-bulan untuk membeli radio itu. Lagi pula radio itu masih ada suaranya kok, meski berisik,” jawab Kakek terkekeh. Niken ikut terkekeh pula.
“Ya, sudah. Kamu tidur, sudah malam. Jangan lupa berdoa,” kata Kakek.
“Ya, Kek.”
***
Ilustrasi%2BCerpen%2BAnak%2BKoran%2BSuara%2BMerdeka%2B19%2BFebruari%2B2017%2Bkarya%2BFarid%2BS%2BMadjid
Keesokan harinya, Niken melihat Kakek sedang melakukan sesuatu pada radionya. Wajah Kakek tampak bingung dan beberapa kali tangannya memukul-mukul radio itu.
“Kenapa dengan radio Kakek? Rusak?” tanya Niken.
“Tidak tahu,” jawab Kakek tanpa menoleh. “Aneh. Kemarin masih ada stasiun radio yang bisa didengar, kenapa sekarang tidak ada sama sekali.”
Kakek memutar tombol volume sampai maksimal, sehingga terdengar berisik yang sangat keras. “Ada suaranya, tetapi tidak ada siarannya. Padahal kakek ingin mendengar lagu-lagu nostalgia,” kata Kakek kecewa.
“Kita bawa ke bengkel saja, Kek. Di sini ada bengkel radio, kan?” kata Niken.
“Ada, dan itu satu-satunya bengkel radio di kampung sini,” jawab Kakek.
Pagi itu Niken dan kakek pergi ke bengkel radio di dekat pasar. Mereka berjalan kaki, melewati area persawahan yang hijau. Wah, pemandangannya indah sekali.
Setengah jam kemudian mereka sampai di bengkel radio. Kakek segera menyampaikan keluhannya kepada si pemilik bengkel. Si pemilik bengkel itu bernama Pak Budi, ia segera memeriksa radio Kakek.
“Bukan radionya yang rusak, Kek. Tetapi stasiun radionya yang tutup,” kata Pak Budi.
“Tutup bagaimana? Masa jam sembilan pagi begini sudah tutup?” tanya Kakek.
“Maksud saya, stasiun radio itu sudah tidak melakukan siaran lagi, alias bangkrut. Apa Kakek tidak mendengar pengumumannya tadi malam, sebelum siaran wayang kulit, bahwa tadi malam adalah siaran terakhir stasiun radio itu?” kata Pak Budi.
“Aku tidak menyetel radio tadi malam,” jawab Kakek terdengar sedih mendengar kabar itu. “Sayang sekali. Mengapa stasiun radio itu sampai tutup?”
“Zaman sudah berubah, Kek. Banyak stasiun radio beralih ke frekuensi FM. Kalau masih bertahan di frekuensi AM, ya ndak ada yang mau dengar, Kek. Kalau ndak ada yang mau dengar, ya bangkrut, seperti stasiun radio kesayangan Kakek itu,” kata Pak Budi.
“Jadi, aku tidak bisa lagi mendengar siaran wayang kulit?” tanya Kakek.
“Mau bagaimana lagi, Kek? Zaman memang sudah berubah,” kata Pak Budi.
Akhirnya Kakek dan Niken pulang.
Pagi itu Kakek tampak sangat sedih. Kakek memandang berlama-lama radio kuno kesayangannya itu. Lalu Kakek menyimpan radio itu di lemari.
***
Minggu siang, Ayah datang untuk menjemput pulang Niken. Niken bercerita tentang keadaan Kakek dan radionya. Ayah mengangguk-angguk mendengarnya.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Apa kamu punya ide?” tanya Ayah.
“Ya, Ayah. Niken punya ide,” jawab Niken, lalu membisikkan rencananya.
Kemudian Niken mengajak Ayah pergi ke pasar. Mereka masuk ke sebuah toko elektronik. Setelah itu mereka pulang. Sesampai di rumah Kakek, Niken langsung berteriak memanggil Kakek.
“Kakek, Kakek, Niken punya sesuatu untuk Kakek!”
“Sesuatu apa?” tanya Kakek keluar dari kamar.
“Ini, Kek. Bukalah,” kata Niken menyerahkan kardus seukuran kotak handphone kepada Kakek. Kakek segera membuka kardus itu.
“Apa ini?” tanya Kakek.
“Itu radio, Kek,” jawab Niken.
“Radio? Kok kecil sekali bentuknya?”
“Radio zaman sekarang memang kecil, Kek. Tetapi suaranya jernih sekali,” kata Niken, lalu menunjukkan cara menggunakan radio itu. Terdengar lagu-lagu barat dari radio itu.
“Lagu apa ini? Ngak ngik ngok, ngak ngik ngok,” kata Kakek.
Ayah tertawa, lalu meraih radio itu dari tangan Kakek. Lalu terdengarlah sebuah lagu pop dari seorang penyanyi perempuan. “Aku masih seperti yang dulu…” begitu si penyanyi di radio bersuara.
Wajah Kakek tampak gembira, lalu berteriak memanggil Nenek.
“Nek, Nenek, sini! Ada lagu kesayanganmu. ‘Tak Ingin Sendiri’, Dian Piesesha!”
Nenek muncul dari arah dapur.
“Mana? Wah, benar. Ini lagu kesukaan nenek waktu muda. Ini radio baru, ya? Wah, bagus sekali bentuknya. Suaranya juga jernih,” kata Nenek girang.
Kakek dan Nenek gembira sekali. Mereka berebut ingin memegang radio baru itu. Niken dan Ayah tertawa melihatnya.
Minggu sore, Niken dan Ayah pamitan hendak pulang ke kota. Sepanjang perjalanan pulang, di dalam mobil, Niken tersenyum bahagia. Niken bahagia karena mengetahui Kakek telah menemukan kembali kebahagiaannya bersama radio baru.
Rujukan:
[1] Dislain dari karya Sulistiyo Suparno
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” 19 Februari 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ