Memilih Pintu

DI Negeri Kurcaci, ada tradisi unik ketika kurcaci anak-anak memilih sekolah. Satu per satu kurcaci akan masuk ke ruang panjang. Di ruang itu, akan ada 10 pintu tertutup rapat. Dengan papan nama sekolah tergantung di setiap pintu. Setiap kurcaci akan diberi waktu satu jam untuk membuka satu pintu.
“Mana pintu yang harus kupilih, ya?” pikir Kurcaci Arara yang kini berada di ruang panjang.
Arara menatap pintu berwarna emas. Di pintu itu ada papan bertuliskan “Pintu Sekolah Bahasa Kurcaci”. Arara ingin sekali membuka pintu itu. Namun, kata-kata Ibu membuatnya tidak berani memegang gagang pintu tersebut.
Ibu pernah berkata, “Sekolah Bahasa Kurcaci itu apa? Bukankah kamu sudah menggunakan bahasa kurcaci itu sejak kecil. Untuk apa kamu belajar bahasa kurcaci lagi di sekolah itu? Tidak ada gunanya, Arara.”
Arara juga teringat cerita Kurcaci Milsa, sahabatnya, tentang Sekolah Bahasa Kurcaci. Kata Milsa, “Aku yakin kamu akan menyesal jika membuka pintu emas. Karena tubuhmu akan ditarik menuju sebuah bangunan tua di tengah hutan lebat. Itu bangunan sekolah terjelek dibandingkan dengan sekolah lain. Menyeramkannya lagi, kamu harus hati-hati. Sebab, banyak binatang buas di hutan tersebut yang siap memakan para kurcaci.”
Terpaksa Arara pun menjauh dari pintu emas dan berpindah ke pintu biru muda. Dengan papan nama bertuliskan “Sekolah Musik Kurcaci”.
“Pasti Milsa akan membuka pintu ini. Dia sangat suka musik. Dia bahkan bisa memainkan seruling dengan merdu,” kata Arara dari dalam hati sambil menatap arloji.
***
Ilustrasi%2BCerpen%2BAnak%2B %2BSuara%2BMerdeka%2B22%2BJanuari%2B2017

WAKTU memilih pintu tersisa 30 menit lagi. “Apa aku buka pintu ini saja ya, biar aku satu sekolah dengan Milsa. Jadi aku tenang, karena aku sudah punya teman di sekolah itu.”

Arara mengangguk mencoba meyakinkan diri. Tetapi, dia menarik tangannya sebelum menyentuh gagang pintu biru itu. “Tidak, tidak! Aku tidak suka menghafalkan nada.”
Waktu memilih semakin menipis. Sepuluh menit lagi dan 10 pintu itu akan terkunci serta tidak bisa dibuka Arara. Arara pun harus keluar dari ruangan ini. Karena, akan ada giliran peri lain untuk memilih pintu.
“Apa aku pilih saja pintu sesuai dengan saran Ibu?” Arara melangkah sambil membaca papan nama di setiap pintu.
“Ini dia, pintu yang disarankan Ibu.” Arara berdiri di depan pintu berwarna merah bercampur putih yang bertuliskan “Sekolah Kesehatan Kurcaci”. Sekolah ini terkenal menciptakan kurcaci-kurcaci hebat. Seperti dokter kurcaci Jisel, bibi Arara.
Arara kagum dengan dokter Jisel. Apalagi ketika beberapa koran memberitakannya. Dari mulai kejadian penyelamatan puluhan kurcaci yang terluka karena longsor sampai berita dokter Jisel yang berhasil menyelamatkan Ratu Peri dari racun.
“Kalau aku memilih pintu ini, Ibu pasti bangga. Milsa pasti mendecak kagum. Sayangnya, aku takut darah,” Arara menggeleng-geleng. “Aku tidak mau masuk ke Sekolah Kesehatan Kurcaci.”
Arara kembali menuju pintu emas. Membaca kembali papan bertuliskan “Sekolah Bahasa Kurcaci”.
“Apa yang akan terjadi jika aku memilih pintu ini? Tinggal dua menit lagi. Tapi aku takut membukanya.”
Tiba-tiba, pintu emas itu terbuka. Astaga! Seekor beruang besar tampak di ambang pintu. Tentu, Arana terkejut sampai terjengkang.
Beruang itu membuka mulut besarnya. Meraung-raung. Tangannya bergerak mencakar-cakar udara. Tubuh Arara bergetar hebat. Ia ingin minta tolong, tetapi suaranya lenyap. Air mata Arara menetes.
Untung saja, tak lama seorang kurcaci keluar dari pintu itu. Ia menirukan raungan beruang. Beruang juga ikut meraung. Arara dibuat bingung. Beruang dan kurcaci itu seperti sedang bercakap-cakap. Atau lebih tepatnya meraung-raung.
“Maafkan Beru Beruang, ya. Kami sedang bermain petak umpet di sekitar sekolah. Dan Beru tidak sengaja menemukan pintu ini. Dia tadi minta maaf kepadamu. Tapi kamu malah menangis. Namaku kurcaci Erabel,” ucapnya.
“Kamu tahu bahasa beruang?” tanya Arara heran.
“Iya. Di sekolahku, aku belajar bahasa kurcaci agar bisa berkomunikasi dengan hewan. Dan masih banyak kegiatan seru lainnya,” kata kurcaci Erabel ceria. “Oh, tidak! Istirahat sudah selesai. Aku harus masuk ke sekolah. Sampai jumpa!”
Erabel menutup pintu itu. Waktu memilih tinggal beberapa detik lagi. Satu per satu pintu mulai terkunci. Tepat pada detik terakhir, Arara membuka pintu emas. Tubuhnya tertarik masuk. “Aku harus berani memilih dan yakin dengan keputusanku.”
Akhirnya, tahun ini Arara menjadi siswa di Sekolah Bahasa Peri. Tidak seperti yang dia takuti, di sekolah itu, dia punya banyak teman kurcaci, bahkan hewan. Dengan prestasinya menjinakkan hewan-hewan buas, negeri Kurcaci menjadi aman dan damai. Ibu sangat bangga pada Arara.

Rujukan
:
[1] Disalin dari karya Zahratul Wahdati

[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” Minggu 22 Januari 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ