Jati yang Tak Mau Meranggas

MUSIM kemarau telah tiba. Angin kering berembus dari selatan ke utara. Hujan tak pernah lagi turun. Matahari bersinar terik sepanjang hari. Pada musim kemarau seperti ini, pohon-pohon jati akan menggugurkan daun-daunnya. Apalagi jika sumber air di tanah mulai kering. Mereka harus meranggas agar tidak kehilangan banyak uap air dan tetap bertahan hidup di tengah kemarau.
Tapi di sebuah hutan, ada sebatang pohon jati yang sombong. Ia tak mau kehilangan daun-daunnya. Sementara pohon-pohon jati yang lain meranggas, ia tetap mempertahankan dedaunannya yang lebat.
“Aku tidak mau meranggas. Aku suka dengan daun-daunku yang hijau lebat. Setelah meranggas, aku hanya akan menjadi batang pohon coklat. Tidak teduh dipandang,” kata pohon jati itu dengan pongahnya. Daunnya yang hijau meliuk-liuk tertiup angin. Sementara, pohon-pohon jati lainnya telah mulai menggugurkan daun.
“Apakah kau tidak tahu kalau dari dulu semua pohon jati meranggas bila musim kemarau tiba? Jika tidak, kau akan mati karena kehabisan cadangan air. Daun-daun itu harus kau gugurkan untuk mengurangi penguapan di siang hari.” Sebatang pohon jati yang paling besar dan paling tua menasihati.
Tapi, nasihat itu tidak mempan. “Lihatlah aku, daun-daun ini yang membuatku hijau, teduh, dan tampak indah. Jika aku menggugurkan daun-daunku, aku akan terlihat jelek seperti kalian. Batang coklat!” ejek pohon jati itu. Pohon-pohon jati lainnya hanya menghela napas mendengar hinaan pohon jati yang sombong tersebut.
Ilustrasi%2BCerpen%2BAnak%2B %2BSuara%2BMerdeka%2B15%2BJanuari%2B2017

Tapi, rupanya musim kemarau tahun ini berlangsung sangat panjang. Tanah kering berbongkah-bongkah. Sumber-sumber mata air yang biasanya melimpah di hutan itu juga ikut surut. Para penduduk dan binatang yang tinggal di sekitar hutan tersebut telah khawatir. Demikian juga pohon jati yang tak mau meranggas itu. Dia mulai khawatir kalau kemarau berlangsung lebih lama lagi.

“Jati, kamu sangat sombong dan keras kepala,” kata sebatang pohon jati di sampingnya.
“Apakah kamu tidak sadar bahwa sikapmu untuk tidak meranggas itu dapat menghancurkan dirimu sendiri? Batangmu akan mengering. Daun-daunmu pada akhirnya juga akan rontok,” ujar pohon lain.
“Sampai kapan kamu bisa bertahan bersama daun-daunmu itu? Musim kemarau tahun ini sangat panjang!” pohon jati di seberang sana ikut menimpali.
“Huh, urus saja batang-batang kalian yang coklat jelek itu!”
Pohon jati yang tak mau meranggas itu marah dinasihati oleh teman-temannya. Pohon itu sombong karena merasa keadaannya lebih baik dibandingkan dengan teman-temannya yang telah menggugurkan semua daun.
Akibatnya, pohon-pohon jati yang semula menasihatinya kini mulai jengkel padanya. Mereka menganggap pohon jati yang tak mau meranggas itu sangat sombong. Ia selalu membanggakan daunnya yang masih hijau dan teduh. Padahal, daun-daun itulah yang akan membuatnya kering dan mati jika tidak digugurkan.
Tapi diam-diam, pohon jati yang sombong tersebut juga mengakui perkataan teman-temannya. Daun-daunnya yang semula hijau segar kini mulai menguning. Ia pun jadi agak khawatir. Tapi, ia terlalu malu untuk mengakui kesalahannya. Pohon jati itu tetap tidak mau meranggas. Ia tidak mau terlihat jelek seperti batang coklat tanpa daun. Pohon jati yang sombong itu hanya bisa berharap semoga hujan segera turun secepatnya.
***
SEBULAN kemudian, hujan pun turun. Seluruh makhluk hidup di hutan itu bersuka cita. Ketika musim penghujan tiba, semua pohon jati kembali bersemi. Tapi pohon jati yang tak mau meranggas itu sudah lemah dan hampir tumbang. Pohon jati itu akhirnya sadar mengapa ia perlu meranggas di musim kemarau. Tapi, ia terlambat. Sebab, batangnya sudah mulai kering. Daun-daunnya telah menguning dan rontok.
“Jati, bertahanlah… Sekarang sudah musim penghujan. Air hujan akan segera terserap oleh akar-akarmu. Batangmu akan kuat kembali,” seru pohon-pohon jati yang lain.
“Terima kasih teman-teman. Kalian benar. Maafkan aku karena sudah menghina kalian. Aku tidak sadar akan kodratku sebagai pohon jati yang harus meranggas saat musim kemarau,” itulah penyesalan terakhir si pohon jati.
Pohon-pohon lain hanya bisa menyaksikan dengan sedih. Mereka mendapat pelajaran berharga dari kesombongan pohon jati yang tak mau meranggas itu.
Daunnya yang dulu hijau lebat dan dibangga-banggakannya kini telah layu dan gugur. Batangnya tak mampu lagi menopangnya untuk tegak. Perlahan-lahan, pohon jati yang tak mau meranggas itu pun tumbang dan mati.
Rujukan:
[1] Disalin daru karya Kabul Astuti
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” Minggu 15 Januari 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ