Buku Tak Berjudul

SETIAP hari buku tak berjudul selalu sendiri. Ia malu karena tak memiliki judul. Ia juga tak memiliki teman. Ia takut jika nanti mereka bertanya apa judulnya, tak bisa menjawab. Ia tak seperti buku-buku lain. Buku lain dengan mudah menyebutkan judulnya. Mereka mudah memanggil antara satu buku dengan buku yang lain.
Buku itu pun sedih. Ia ingin punya teman, tapi selalu takut. Ia takut akan menjadi bahan ejekan para buku yang lain. Ia sering mencoba untuk ikut bermain bersama buku lain, namun gagal karena tak berani. Ia memilih sendiri lagi.
“Aku ingin punya teman. Tapi, adakah yang mau berteman dengan buku tak berjudul sepertiku?” gumamnya setiap hari.
***
Ilustrasi%2BCerpen%2BAnak%2B %2BSuara%2BMerdeka%2B7%2BMei%2B2017%2Boleh%2BFarid
Suatu hari, ia bertemu dengan buku yang sedang menangis. Ia ragu untuk mendekat. Namun dengan segenap keberanian, ia mendatangi buku itu. Ia merasa kasihan padanya. Dengan perlahan dia mendekat ke sebelah buku itu. Meski ragu ia memberanikan diri untuk bertanya.
“Wahai buku, kamu kenapa menangis?” tanya buku tak berjudul lembut.
Buku yang sedari tadi menangis kaget. Ia tak menyadari ada buku lain di sebelahnya. Namun ia tak menjawab. Ia kembali menangis. Buku tak berjudul masih tetap berada di sebelahnya.
“Hari ini aku bertengkar dengan temanku. Aku sangat sedih,” ucapnya sambil menangis.
Lalu, buku yang menangis pun bercerita.
“Aku bertengkar dengan temanku. Saat bermain aku tak sengaja menabraknya hingga ia terjatuh. Ia marah kepadaku. Aku sudah berusaha meminta maaf namun ia semakin marah. Ia tak mau memaafkanku. Ia menganggap aku sengaja menabraknya,” katanya sambil menahan tangis.
“Bersyukurlah kamu memiliki teman. Meski sedang bertengkar, kamu punya teman yang bisa kamu ajak bermain setiap hari. Dia mungkin masih kaget saat terjatuh tadi. Aku yakin dia mau memaafkanmu jika memang kamu tidak bersalah. Aku akan menemanimu untuk menemuinya lagi,” buku tak berjudul mencoba menghiburnya.
Tanpa sempat berkenalan, mereka berdua mendatangi buku itu. Buku tak berjudul merasa senang bisa menemani buku lain meski belum menjadi temannya. Ia pun berhasil mendamaikan kedua buku yang habis bertengkar.
“Terima kasih ya, berkat kamu kami jadi baikan,” ucap kedua buku kompak.
“Oh iya, kita belum berkenalan. Aku Buku Pintar dan temanku Buku Kreatif,” lanjut buku yang menangis.
Buku tak berjudul hanya diam. Ia menunduk tak berani menatap.
“Kenapa kamu diam saja? Kamu tak mau berkenalan dan berteman dengan kami?” tanya Buku Pintar.
“Aku adalah buku tak berjudul. Apakah kalian masih mau berteman denganku?” ucapnya gemetar.
“Tentu saja,” jawab mereka kompak.
“Mulai saat ini kita adalah teman. Kamu adalah buku yang baik, karena itulah kita akan memanggilmu Buku Baik Hati,” lanjut Buku Kreatif. Mereka berpelukan erat dan berjanji untuk berteman selamanya.
Buku tak berjudul kini menjadi Buku Baik Hati. Ia kini memiliki teman. Tak hanya Buku Pintar dan Buku Kreatif, ia juga memiliki banyak teman. Banyak sekali buku yang ingin berkenalan dan menjadi temannya, karena dikenal akan kebaikannya. Ia sangat ramah dan peduli pada buku yang lain.
Ia sekarang sadar bahwa untuk memiliki teman yang terpenting adalah kebaikan yang diberikan kepada sesamanya. Ia sudah salah sangka dan berpikir buruk kepada buku-buku yang lain. Ia menyesali sikapnya selama ini. Ia berjanji akan selalu berbuat baik kepada teman-temannya. 
Rujukan: 
[1] Disalin dari karya Umi Khasanah
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” 7 Mei 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ