Belajar Adil pada Bunda

TEDI dan Doni adalah kakak beradik yang tinggal di Kebumen, Jawa Tengah. Tedi sudah kelas 3 SMP, sementara Doni baru kelas 2 SD. Pagi ini adalah awal tahun ajaran baru. Mereka berdua bersiap berangkat ke sekolah.
“Bunda, Tedi mau berangkat,” ucap Tedi seraya mencium tangan Bunda. Doni juga ikut mencium tangan bundanya.
“Hati-hati ya di jalan,” kata Bunda sambil memberikan selembar uang sepuluh ribuan kepada Tedi dan selembar uang dua ribuan kepada Doni.
“Terima kasih, Bunda,” ucap Tedi. Ia segera berjalan menuju halte yang tak jauh dari rumah. Ia akan menunggu angkot di sana.
Sementara Doni malah terdiam dengan wajah kesal. “Bunda tidak adil!” Doni merajuk. “Masa Doni Cuma diberi Rp. 2.000.”
Bunda tersenyum. “Doni, Bunda memberi uang saku lebih banyak kepada Kak Tedi, karena sekolah Kak Tedi jauh. Dia butuh ongkos untuk membayar angkot. Sementara sekolah kamu kan dekat, jadi cukup berjalan kaki.”
“Tapi tetap saja Bunda tidak adil,” protes Doni.
“Kalau begitu, menurut Doni, biar adil bagaimana?”
“Ya harus sama. Kalau Kak Doni diberi sepuluh ribu, aku juga sepuluh ribu.”
Bunda kembali tersenyum. “Sekarang kamu berangkat saja dahulu, Doni. Nanti terlambat.”
Selepas Doni berangkat, Bunda menuju ke dapur. Bunda ingin melanjutkan membuat kue bolu pesanan Bu Ratri, tetangganya. Kemarin Bu Ratri memesan 220 potong kue bolu untuk acara malam nanti.
Ilustrasi 2BCerpen 2BAnak 2BNusantara 2BBertutur 2BKompas 2Bedisi 2BMinggu 2B11 2BFebruari 2B2018 2Bkarya 2BRegina 2BPrimalita
Sore hari kue-kue bolu itu pun jadi. Agar mudah dibawa, kue-kue itu dikemas dalam dua kardus. Setiap kardus berisi 100 kue. Sisanya dimasukkan ke dalam kantung plastik hitam. Biasanya si pemesan yang mengambil, tetapi kali ini Bunda punya rencana lain. Ia meminta Tedi dan Doni membantu mengantarkan ke rumah Bu Ratri.
“Nah, biar adil, kalian masing-masing membawa satu kardus. Yang di tas plastik itu biar bagian Bunda,” lanjut Bunda.
“Apa tidak salah, Bunda?” protes Doni. “Masa bawaanku disamakan dengan bawaan Kak Tedi. Kardus itu kan berat? Sementara Doni kan masih kecil?”
“Loh, tadi pagi kan Doni minta selalu disamakan dengan Kakak? Katanya biar adil. Sekarang giliran mau disamakan, Doni bilang tidak adil?” jawab Bunda.
“Apa sih sebetulnya adil itu, Bunda?” tanya Tedi. “Aku juga masih bingung?”
“Yang dinamakan adil itu salah satunya adalah menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Adil juga bisa diartikan memberikan sesuatu sesuai kebutuhan. Itulah kenapa Bunda membedakan uang saku kalian, karena kebutuhan kalian berbeda.”
“Maafkan, Doni, ya Bunda,” ujar Doni yang sudah menyadari kekeliruannya.
“Iya, yang penting kalian sudah tahu kalau adil itu tidak harus sama. Sekarang ayo kita antar kuenya. Doni bawa yang di tas. Biar Bunda dan Ka Tedi bawa yang di kardus.” ujar Bunda. Doni pun sudah bisa tersenyum ceria kembali.
 Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Moh Romadlon
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” rubrik Nusantara Bertutur edisi Minggu, 11 Februari 2018

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ