Abil dan Kakek Penyelamat

SEJAK kecil Abil memang berbeda dari Kak Puri, kakak perempuannya. Ia sangat pemalas, apalagi jika disuruh untuk belajar. Pusing dan mengantuk adalah alasan andalannya jika Mama atau Kak Puri terlihat membawakan buku bacaan. Abil lebih suka menghabiskan waktu di depan televisi atau main game. Padahal kini ia sudah duduk di bangku kelas I SD. Namun membedakan huruf b dan d saja ia masih bingung.
“Ih nggak malu ya sama Kak Puri, dulu Kak Puri masih TK Saja Sudah lancar baca,” ledek Kak Puri.
“Enggak tuh, malah enak di sekolahan dibacain Bu Guru terus, weeek,” balas Abil sambil menjulurkan lidahnya.
“Tapi kan nggak selamanya Bu Guru bacain Abil terus,” tegur Mama.
“Iya nanti lama-lama pasti Abil bisa baca sendiri kok,” balas Abil.
“Hoaaaamm Abil ngantuk, mau tidur dulu, daa Mama daa Kak Puri,” lanjut Abil sebelum Mama selesai bicara. Padahal sesampainya di kamar, saat Kak Puri membuntutinya, bukannya tidur Abil justru asyik bermain game. Mama hanya bisa menggelengkan kepala.
***
HARI Sabtu tanggal di kalender berwarna merah, itu artinya keluarga Abil punya waktu dua hari untuk liburan. Abil sekeluarga merencanakan berlibur di rumah Nenek, karena sudah hampir tiga bulan mereka tidak mengunjungi Nenek. Abil senang, itu berarti ia tidak dipaksa untuk belajar dan bertemu dengan huruf-huruf menyebalkan di buku bacaan tersebut. Meskipun pemalas, Abil adalah anak yang pemberani. Ia tidak minta ditemani Kak Puri saat ingin bersepeda di sekitar rumah Nenek.
“Jangan jauh-jauh ya, Bil,” pesan Nenek.
“Tenang Nek, Abil sudah hafal jalan kok,” ujar Abil.
“Iya, Nenek hanya khawatir kamu salah masuk gang, karena di sini banyak gang. Nanti kalau kamu tersesat bagaimana?” tanya Nenek.
“Tenang Nek, Abil kan anak pemberani,” ujar Abil.
Nenek tidak kuasa untuk melarang Abil yang sudah ngotot ingin bersepeda. Saking asyiknya bermain, Abil tidak sadar jika cuaca mulai gelap. Langit biru tersapu dengan awan hitam, ditambah angin kencang yang menakutkan. Abil pun langsung bergegas memutar sepedanya.
“Nah itu dia rumah Nenek,” ujar Abil kepada dirinya sendiri setelah melihat rumah warna abuabu.
Namun ketika sampai di depan rumah itu, Abil bingung karena ternyata salah rumah. Tidak ada mobil Papa yang terparkir ataupun anggota keluarganya yang berada di sana. Semuanya asing. Abil pun kembali mengayuh sepedanya sebelum hujan turun. Hampir seperempat jam Abil memutari gang, namun tak kunjung menemukan rumah Nenek. Beruntung ia tadi diam-diam mengambil telepon genggam milik Kak Puri, ia pun menelepon Mama.
“Aduh, Abil, tadi kan sudah diingatkan Nenek. Kamu di mana, Nak?” tanya Mama.
“Abil juga tidak tahu, Ma,” jawab Abil takut.
Ilustrasi%2BCerpen%2BAnak%2BKoran%2BSuara%2BMerdeka%2Bedisi%2BMinggu%2B31%2BDesember%2B2017
“Sudah begini saja, setiap gang di situ pasti ada papan namanya. Kamu di gang mana, Nak? Biar Mama jemput,” tanya Mama lagi.
“Aduh, Ma, Abil kan belum bisa membaca. Pokoknya ada rumah warna abu-abu mirip rumah Nenek dan ada pohon jambu yang besar,” jawab Abil.
“Abil… Abil… Pohon jambu kan nggak cuma satu,” balas Mama.
Tuttt tuuuttt tuuut. Telepon terputus, ternyata baterainya habis. Tik tik tik, tetes hujan perlahan turun. Abil makin risau, karena tidak menemui seorang pun di sekitar gang. Cuaca yang menyeramkan seperti ini kebanyakan orang akan memilih menutup pintu rumah rapat-rapat. Abil pun tidak menyerah, ia terus mengayuh sepedanya meskipun hujan perlahan turun, hingga ada suara di belakangnya memanggilnya.
“Nak, kamu tidak tahu kalau sedang hujan ya?” tegur seorang laki-laki tua yang tergopoh- gopoh dan memayungi tubuh Abil yang mulai basah.
“Saya lupa jalan pulang ke rumah Nenek, Kek,” kata Abil.
“Lho, kan kamu bisa menghubungi lewat telepon,” ujar Kakek sambil menunjuk telepon genggam yang menyembul di saku baju Abil.
“Iya saya sudah menghubungi Mama, Kek, tapi saya nggak bisa membaca, jadi saya tidak tahu ini di gang mana,” ujar Abil terbata.
Kakek tua itu pun tertawa terbahak-bahak. “Waduh, masa kamu kalah sama Kakek, Kakek saja walaupun sudah ompong dan keriput begini lancar membaca lho,” ujar Kakek.
Abil pun menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum malu. Beruntung si Kakek ternyata mengenal Nenek Abil, sehingga ia bersedia mengantar Abil pulang. Di depan rumah, Nenek, Papa, Mama, dan Kak Puri tampak lega setelah Abil menampakkan batang hidungnya. Mereka pun berterima kasih kepada si Kakek yang ternyata bernama Kakek Nyoman.
“Ingat, harus belajar membaca. Hari gini kok nggak bisa baca, malu sama kucing itu lho,” ledek Kakek.
“Iya Kek,” jawab Abil sambil mengangkat tangan, hormat kepada si Kakek.
Di dalam hatinya ia berjanji akan rajin untuk berlatih membaca, meskipun memusingkan kepala, ia yakin usahanya tidak akan sia-sia. Setiap ia merasa malas dengan buku bacaannya, ia akan teringat nasihat kakek ompong yang menjadi penyelamatnya. (58)
Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Rohmah Jimi Sholihah
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Suara Merdeka” 31 Desember 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ