Pecalang Cilik

PADA hari Jumat di suatu perumahan di kota Denpasar, Bali, seorang anak bercakap-cakap dengan bapaknya.
“Bapak mau ke mana, kok pagi-pagi sudah pakai pakaian adat?” tanya Wayan kepada bapaknya, Pak Ketut yang sudah berpakaian adat lengkap dan hendak pergi.
“Iya, Wayan, Bapak jadi Pecalang hari ini. Nanti siang, Bapak mau bantu keamanan masjid saat ada kegiatan ibadah shalat Jumat,” terang Pak Ketut.
“Pecalang apa itu, Bapak?” tanya Wayan. “Kok Bapak jaga keamanan masjid, bukan pura?” Wayan memang anak yang serba ingin tahu. Umur Wayan belum genap enam tahun.
Pak Ketut tersenyum, lalu tubuh Wayan dipangkunya sambil berkata,”Pecalang itu penjaga tradisional adat, Sayang,” jawab Pak Ketut.
Pak Ketut berkata lagi, “Bapak sebagai pecalang, tapi turut menjaga masjid, karena sebagai umat Hindu, kita juga harus turut menjaga keamanan tempat ibadah saudara kita yang berbeda agama di Pulau Bali ini, Nak. Itu yang namanya toleransi,” ungkap Pak Ketut panjang lebar.
“Toleransi itu apa Pak?” Wayan bertanya kembali.
Ilustrasi%2BCerpen%2BAnak%2BKoran%2BKompas%2BNusantara%2BBertutur%2Bedisi%2BMinggu%2B28%2BJanuari%2B2018
“Toleransi itu saling menghargai dan tolong menolong tanpa melihat agama yang berbeda, Nak. Biarpun kita beragama Hindu, tapi kita harus ikut membantu saudara kita yang Muslim di Bali ini, dan saudara kita yang beragama lain. Begitu juga saudara kita yang beragama Islam, mereka juga selalu membantu kita yang beragama Hindu. Sekarang kamu mengerti, Nak?” kata Pak Ketut sambil mengusap rambut Wayan.
Wayan pun mengangguk-angguk.
Tak lama kemudian, Pak Ketut pun berangkat ke luar rumah untuk menjalankan tugas sebagai pecalang.
Seminggu kemudian, pada hari Jumat yang cerah, Pak Ketut seperti biasanya menyiapkan baju adat untuk persiapan menjadi pecalang yang akan menjaga keamanan saat ibadah shalat Jumat nanti siang. Tiba-tiba Wayan muncul di hadapan Pak Ketut dengan komplet memakai baju adat seperti yang dipakai bapaknya itu.
“Wayan mau ikut Bapak jadi Pecalang juga,” seru Wayan dengan memegang baju adat yang tampak kedodoran miliknya.
Pak Ketut tertawa melihat tingkah laku anaknya itu.
“Aduh, lucunya anak Bapak ini. Kenapa kok mau ikutan jadi Pecalang?” tanya Pak Ketut ke Wayan.
“Wayan mau bantu keamanan di masjid, Pak. Karena kita kan harus saling membantu dan menghormati saudara kita yang berbeda agama. Lagi pula di masjid itu juga ada teman-teman Wayan yang shalat Jumat di sana. Wayan ingin turut membantu teman- teman, biar ibadahnya lebih khusyuk,” jawaban ceria Wayan itu membuat Pak Ketut haru bercampur gembira. Anak sekecil Wayan sudah bisa mengerti tentang toleransi beragama.
“Ayo, pecalang cilik, kita berangkat!”
Pak Ketut menggandeng tangan Wayan dengan bangga.
Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Ferry Fansuri
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” rubrik Nusantara Bertutur edisi Minggu, 28 Januari 2018

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ