Celengan Bambu

KAKEK Fauzi baru saja memotong bambu di belakang rumahnya di Indramayu, Jawa Barat. Dipotongnya bambu sesuai ukuran buku-bukunya. Rencananya akan diberikan kepada keempat cucu-cucunya, yaitu Zallumi, Zain, Ziyad, dan Zamit yang sedang menginap di rumahnya.
Bambu-bambu berukuran sekitar dua jengkal tangan itu lalu dilubangi seukuran koin uang seratus rupiah lama di permukaannya, lalu dicat dengan vernis sehingga tampak mengkilat warna bambu dan urat-uratnya yang bersulur-sulur.
“Untuk apa Kek bambu-bambu ini?” tanya Zamit penasaran.
“Bentuknya seperti kentongan, tetapi ini lebih bagus,” timpal Ziyad.
“Tapi kok lubangnya kecil, seperti lubang celengan?” tukas Zain sambil mencoba mengintip isi tabung bambu dari celah lubang itu.
“Ah, sepertinya Zain benar, ini celengan bambu, benarkan, Kek?” tanya Zallumi satu-satunya cucu kakek yang perempuan.
“Wah, kalian memang cucu-cucu Kakek yang pintar! Kakek sengaja membuatkan untuk kalian celengan bambu. Lihatlah, tidak kalah dengan celengan plastik yang dijual di pasar malam, kan?”
“Iya Kek, bagus. Lebih bagus bahkan,” puji Ziyad.
“Nah, mulai sekarang kalian harus belajar untuk menyisihkan uang saku kalian. Sehari lima ratus rupiah tak mengapa. Jika dikumpulkan selama setahun akan terkumpul uang sekitar seratus delapan puluh ribuan. Bisa membeli baju baru untuk lebaran nanti.”
“Benar, Kek,” jawab mereka hampir berbarengan.
Namun kemudian terdengar bisik-bisik dari mereka tentang celengan bambu.
“Ini Kek, menurut Zain apakah Kakek dapat mengajari kami membuat celengan bambu?”
“Tentu saja, Nak! Tapi untuk apa lagi, kan sudah Kakek buatkan untuk masing-masing?”
“Zamit punya usul untuk membuat celengan bambu dan kita berempat akan menjualnya.”
Ilustrasi 2BCerita 2BAnak 2BNusantara 2BBertutur 2BKompas 2Bedisi 2BMinggu 2B6 2BMei 2B2018 2Bkarya 2Bregina 2BPrimalita
“Bagus sekali! Kalian sudah berpikir kreatif dan produktif. Ayo kita tebang lagi dan potong-potong bambunya!” seru Kakek Fauzi seraya mengambil golok dan gergaji.
Kini telah terkumpul puluhan tabung bambu. Keempat saudara itu bekerja sesuai dengan arahan Kakek Fauzi. Zallumy dan Zain membantu mengampelas, sedangkan Ziyad dan Zamit mengecatnya dengan vernis. Sementara Kakek membuat tali-temali yang dirajutkan dari anyaman bilah bambu sebagai pegangannya.
“Oh iya, kemana kalian rencananya akan menjual celengan-celengan itu?” kata Kakek  Fauzi.
“Ke teman-teman sekolah, Kek,” jawab Zamit.
“Iya, biar teman-teman juga ikut rajin menabung, sehingga menghindari pemborosan uang jajan,” timpal Ziyad.
“Betul, Kek. Biar kami dan teman-teman sudah biasa melatih hidup hemat sejak diri, sehingga saat besar nanti kami bisa hidup dengan sejahtera,” lanjut Zallumi.
Kakek Fauzi terharu dan bangga mendengar penuturan cucu-cucunya. *
Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Faris Al Faisal
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” rubrik Nusantara Bertutur edisi Minggu, 6 Mei 2018

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ