Masa Itu… [ goresan puisi ]

Urbanoir.Net – Siapa yang tidak memiliki rasa sedih?
Seperti takdir sebuah ruang dalam hati diciptakan menampung rasa tersebut. menjadi bagian hidup yang kekal, dan menyatu dengan semua ruh yang terhempas dalam jasad.
Pengungkapan rasa sedih akan sangat beragam dan berbeda di setiap orang, salah satunya adalah melalui puisi sedih.

 

Berikut contoh puisi sedih:

MASA ITU…

Kata-Kata-Bijak-Cinta-Islami

 

Sesaat tadi sebuah banyangan masa laluku menerpa ruang otakku, dimana semua terasa alami, terasa sunyi dinikmati.

Masa-masa penuh nyata, masa-masa penuh suka cita, tiada beban, tiada angan, hanya sebuah kenangan yg begitu menakjubkan.. ALLAH..

andai saat ini ak diberikan waktu sehari, kembali kesebuah masa tiada polusi, tiada kekerasan hati, tiada korupsi, tiada tangisan diri.

Semuanya senang berlari-lari seperti layang-layang.. bermain diantara beribu tumbuhan, berjuta tanaman, diantara sawah dan ladang, berpetualang tak kenal gelap dan padang.

Semuanya terasa menyenangkan..^^

Nafas begitu lembut, senyumpun begitu takjub. diantara ribuan ilalang, dan seberbak wangi dedaunan.

Bernyanyi-nyanyi diantara ketidakjelasan, bergembira ria tanpa mengenal lelah.

Menikmati arti hidup tanpa kerasnya dunia, ALLAH.. nikmat rasanya, keringpun seakan tak bisa mencegah kekreatifitasan masa-masa itu, apapun menjadi sebuah rasa penasaran, menaiki pohon, mencari daun-daun kering, mencabuti batang-batang, dan membantu para petani panen buah2an.

Masya Allah.. hal yang tak mungkin terlupakan..

TAPI..

itu hanya hayalan sesaat, krn ibah melihat dunia, melihat gemerlap suara, polusi dimana-mana, panas yg tak terkira, hujan yg tak tw kapan datangnya..

owh.. dimana hijau belakang rumah, tanahpun sepertinya mulai lenyap, udarapun mulai senyap…

oh… SUDAH TERLANJUR HIDUP JALANI SAJA..

 

MASA ITU… ( bagian II )

Dah lama banget ya kita putus komunikasi
Ga pernah lagi ada khabar lagi
Ga pernah ada lagi silaturahmi
Apalagi untuk bertemu kambali

Walaupun begitu Aa harap kamu baik2 aja
sehat dan slalu dalam lindunganAllah
itu doa yg mampu Aa mohonkan
dan hanya itu juga yg bisa Aa haturkan

Aa ga tau kamu masih inget Aa atau ngga
ya..tak mengapa jika kamu mang dah lupa
atau dah mengubur kenangan kita
memang kita sudah berbeda keadaan nya

Tapi tadi nya sih Aa ingin…..
silaturahmi itu tidak putus begitu aja
tak lekang jua di makan waktu dan usia
tetap bisa terjalin dan tersimpul erat

Namun itu hanya keinginan….
berbeda jauh dengan kenyataan
Aa tetap masih menyimpan sedikit harapan
silaturahmi itu kembali terbentangkan

Aa minta maaf sama kamu bila Aa khilaf
ataupun Aa bersikap alfa dan lupa
sekali lagi Aa mohon maaf banget
semoga pintu maaf itu masih ada buat Aa
Aa sadar banyak bikin kesalahan

maafin Aa De…………
Ade…….Aa kangen dan rindu masa itu
Aa ingin mengulang nya walau sesaat….

Jatibening,16 April 2008

 

[adsenseintext]

MASA ITU… ( bagian III )

Jika saja aku punya kesempatan kembali ke masa itu
Bahkan jika hanya untuk beberapa jam bisakah?

Aku ingin kembali ke masa itu
Masa dimana aku bisa tertawa tanpa khawatir akan masa depan
Masa dimana aku bisa bermimpi di bawah hujan
Masa dimana hati ku bebas dari rasa sakit celaan

Aku merindukannya, masa itu
Jika saja aku bisa mengulang waktu
Tak kan ku sia-sia kan masa itu

Aku lelah menjadi dewasa
Terlalu banyak beban
Terlalu banyak rasa sakit
Terlalu banyak mimpi yang kandas

Aku ingin kembali
Tapi waktu adalah waktu
Dia terus berjalan maju
Dan aku hanya bisa merindukan masa itu

puisi-cinta-pendek-menyentuh-hati

Cinta dalam Diam

Dibatas penantian ini
Keraguan hati menterbuaikanku akan sebuah perjuangan
Untuk mendapatkan cinta dari seorang putri raja
Yang sudah lama menjadi kumbang dalam hidupku
Namun, diriku tak mampu meraihnya

Dia yang ku cintai
Bukanlah putri biasa
Dia wanita perkasa, kaya raya
Dan tak satupun insan berani mengasmara

Apakah diriku pantas bersanding dengannya
Sementara, diriku hanyalah insan biasa
Yang tak punya tahta dan apa-apa

Tetapi, diriku hanya punya cinta dan kasih sayang
Yang terbiasa hidup dalam kekurangan
Yang hanya berani mencintai dia dalam diam
 

Bunga Impian
Sudihkah kau bertanya tentang gelora
Yang mengantung dipohon asmara
Dekat hati berbunga cinta

Pagi dan siang selalu mekar
Mengkasturikan dirimu Oh..sayang
Walau hujan turun lebat menghadang
Wanginya selalu melekat tak terbasuh hujan

Sementara kau masih ragu
Menyakini perasaanku
Yang penuh ketulusan

Burung-burung cantik yang mencoba mendaki ranting bunga cinta di hati
Berkicau lembut, mencoba menerpa ragaku
Tapi,aku abaikan demi kesungguhanku padamu

Mari sini sayangku.
Aku menunggu cintamu
 

Mandalawangi dari Gadis Desa

Secercah sinar rasa sudah lama terbendungkan
Musim cinta dihati gelap menghujan
Gerimis jatuh tak kunjung lebat menghadang

Tetapi, semenjak dikenalkan dengan orang yang ku sayang
Aku mencurahkan pada lembaran kertas ini ku tuliskan
Sebuah ungkapan hati dan ketulusan
Tentang rasa lama ku pendam

Tanganku mengais pada sebuah lembaran
bersanding pena hitam, di depan hati kasmaran

lama sudah ku menguraikan sajak-sajak indah dikertas putih itu
seputih kanvas sutra pakaianmu wahai gadis impianku
Membuatku rindu akan bait-bait karya sastraku
Yang penuh simpati mengarah padamu

Sudah lama musim cinta menjelma dalam hidupku
Tetapi, aku simpan dan tak sediktpun tergoyahkan

Sesungguhnya aku takut untuk bicara jujur
tentang rasa yang tersamarkan dalam batinku
Aku tak mampu menebarkan sekuntum bunga cinta itu
yang terkadang membuatku gila dibuat-nya

Aku mencintaimu dengan penuh kejujuran
walaupun aku sering mengungkapkan dengan bahasa alay di depan-mu.
Mungkin lewat lembaran kusam
kau kan tau kejujuran dari hatiku yang penuh kesungguhan 

 

Genggaman Perpisahan

puisi jiwa

Kuncup yang mekar bahkan tak mendatangkan satu pun kumbang untuk mengecup manisnya

Gelegar riuh hujan tak sedikitpun ikut menerbangkan rasa dingin yang membuat gentar

Kaki kuat melangkah semakin cepat mendekati hari beranjak gelap

Di bawah sinar seadanya aku amati kembali kemana jejak yang melenyapkan-mu pergi

Aroma basah, rumput mengeliat dan pohon separuh berbisik

Ranting berjatuhan menimbulkan bunyi langkah samar

Bulan begitu pelit menyimpan cahayanya untuk dinikmati sendiri

Bumi semakin beku, dalam sepi, menua dan renta

Tegar terus menerjang lebat pepohonan diantara tanaman pemakan mimpi ku

Kejam ku susun langkah menuju jauh

Meninggalkan tempat pembaringan

Mengikuti jejak jawaban yang kau taburkan

Bila kau tanyakan mengenai rasa sakit? Sabetan pedang tidak akan membuat darahku jatuh meski hanya satu titik sebesar gerimis

Jauh di dalam rongga di tengah dada, luka menganga mematikan ku meski aku masih bisa berlari satu mill lagi.

 

[artikel number=5 tag=”Motivasi” ]

Haru Dalam Hujan

Cahaya mengagetkan memotretku dari langit

Dari singgasana tertinggi tempat kaum suci mengintip hiruk pikuk di bawah sini

Hujan dan tangisan begitu sering sehingga tak lagi ku rasa istimewa

Mereka memiliki magnet tarik menarik untuk menyempurnakan tahta di antara dua

Hangat dan perlahan, lalu meluncur tanpa ampun

Seisi bumi menangis dalam haru tangisan angkasa

Gungukan tanah basah dengan taburan aneka warna

Tanah menelanmu dengan cepat seolah telah lama memendam rindu

Seperti sepasang kekasih yang mendapatkan waktu untuk menyatu

Secepat hembusan nafas kau terlihat sangat mesra dan menikmatinya

Menyuguhkan senyum, membawa berita dalam perut pertiwi adalah syurga

Seakan kesedihan antri untuk mengisi hari-hariku yang dipandang selalu ceria
Seolah mereka berlomba mempertaruhkan kata “tolong” yang akan aku ucapkan
Pulanglah dengan tertawa, dan pahamilah

Dendam atas kelahiran yang mereka tertawakan telah kau balas tanpa tersisa

 

Senyuman Yang Dipaksakan

Barisan batang-batang ketegaran mulai rapuh

Menggilas tanaman pencegah erosi hati tertanam ratusan tahun yang lalu

Merah menyala api angkara melunakkan angkuh yang ku pertahankan sekian lama

Masih bisa ku hirup sedikit aroma tanjung di lengan yang kau genggam sebagai salam

Bau yang halus mengetuk pintu dengan licik

Sedikit tanjung yang berpadu dengan tubuhmu menjadi panah dengan racun yang mematikan menancap

Roboh lah.. rusak lah.. hancur lah… hilang lah…

Aku bermusuhan dengan hari ini  selamanya

Ketika kerajaanmu mulai mendeklarasikan kemerdekaan tanpa aku sebagai rajanya

Seolah penghianatan  yang menjadikan aku buronan menjadi menang seketika

Aku membangun istana itu dan kau bertahta tanpa aku disana

Rajutan memori kiaskan kebodohan yang tidak pernah suram

Kita selamanya adalah katamu untuk menusukku mati

Lincah tak berjejak

Mencekik tanpa tenaga

Melukai tanpa terkena darah

 

[adsenseintext]

Terkungkung

Sebuah masa, berlalu dan diikuti bagian lain di belakangnya

Sambung menyambung tanpa henti, membentuk pola jalinan waktu pasti

Perihku menjadi sebuah kepastian, dan saat tertawa sudah terjadwalkan

Aku menjadi pusaran rotasi,

Dengan banyak mata memberikan cambukan

Dengan banyak telinga seolah hanya menjadi saksi keburukanku

Lemah, terkulai, tak berguna

Lagu-lagu seperti menina bobokan dalam kematian yang semakin dekat

Senar gitar bergetar,dimainkan jari-jari lincah melompat dari satu kotak untuk menekan kuat

Tak dapat bergerak seolah aku lumpuh dalam ke dua kaki yang mampu berlari jauh

Tersesat di dalam sebuah rumah yang ku bangun dengan tanpa campur tangan siapapun

Mimpi buruk dunia luar hanya bisa ku intip dari celah lubang sebesar bola mata

Telah ku kurung dengan tujuh lapis perlindungan, yang justru membuatku semakin kerdil

 

Penjara Yang Ku Ciptakan

Rapat, pemikiran yang ku bungkam diam

Tidak pernah selangkahpun meninggalkan pusat kendali menjadikannya semakin lemah

Ketidakpekaan

Aku merasa begitu membatu

Bersama satu dua yang ku biarkan keluar masuk

Berhasil aku memisahkan dengan satu dua tetangga dengan parit yang ku gali

Semakin dalam bersama ranjau yang ku kubur di dalam sana

Ketika aku tak bisa memilih suratan yang aku bawa lahir

Luka ku yang berbeda menjadikan aku berfikir hanya aku yang merasakan kesakitan

Jarak tak seberapa aku dengan mereka

Pintu yang mereka biarkan terbuka dengan ramah suara lantang menyapa

Seperti penjara yang ku ciptakan sendiri

Merasa nyaman dari dunia yang terasingkan suatu tempo saat rasa itu menangis pertama kali

Rengekan mereka tidak akan membuat aku berpindah

Jutaan anak panah yang telah ku persiapkan siap mencabik sedikit gerakan yang ku ciptakan

Nafas Tanpa Arti

Mari berhitung…

Satu, dua dan berhenti di angka dua puluh empat

Masihkah tahun depan hitungan itu bertambah, atau Tuhan hanya akan mengajariku sampai di angka itu

Tidaklah cukup lautan menuliskan banyak nikmat yang Tuhan berikan

Gunung-gunung tidak akan pernah kokoh menampung sombong hamba berikan

Aku… tidak semuanya begitu, ini mengenai aku,

Tanpa pembalasan aku hanya menganggap nikmat adalah sebuah hak

Seperti keharusan bahagia harus aku terima,

Lilin ke dua puluh empat padam tanpa tiupan ku

Mati menuju gelap yang sunyi

Dalam dua puluh empat aku mulai mengerti

Hidupku tidak hanya diperuntukkan untuk ku isi cerita hanya mengenai aku

Mengenai air mata yang berhasil ku usap kering

Mengenai senyum masam yang ku jadikan semanis sakarin

Harusnya ku torehkan senyum mereka yang aku lihat

Nafas tanpa ari mencekik membuat aku mati

 

Jauh Dari Pengharapan

Bila gurun kini bisa berubah menjadi kebun

Dan parit adalah lautan yang luas kini

Sepercik api mungkin akan cukup mengosongkan isi bumi

Dan setitik harap ku mohon menjadi kenyataan tak lagi tersembunyi

Harapku tidak kau sambut dengan harapmu

Takdirku tidak kau iya kan dengan persetujuan

Seperti kuda yang terjagal aku tersungkur terkapar

Seperti tertusuk ujung tombak nadiku memancar deras

Layaknya tercekik alveolus mengecil hendak rontok

Layaknya lumpuh aku hanya bisa memandang dari jauh

Dibawah Naungan Asa

Kebaikan langit menahan sebagian mereka agar  tidak runtuh

Perut bumi menahan mualnya sekuat tenaga agar tidak muntah

Kebaikan, mungkin saja pelembut hati yang kaku

Memohon kebaikan menjadi penyemangat

Tegakkan tubuh doyong dalam kesedihan mendalam

Kemana arus sungai?

Ikan-ikan larut terseret

Dimana hati merindu?

Tubuh-tubuh layu jatuh terperosok

Penghiburku adalah matahari

Datang meski selalu pergi

Sabar, mengajak menghitung kehidupan

Sisi terlewat sebagian menjelang hilang

Impian telah musnah

Jiwa tua sunyi dalam derita sendiri

Cukup Aku Saja

Terangkai jutaan baris kata maaf

Hafal, persis dampai dengan tanda baca koma dan titik

Jika aku ujian berpidato mungkin sempurna menjadi imbalannya

Bersuara lantang menyadarkan lamunan audiens yang mengantuk

Ribuan peserta akan kubungkam dengan jerit jiwa merdeka

Kini giliran rindu mendesak akal sehat untuk kocar-kacir kabur

Terbirit berlari menyesal

Untuk apa sebuah penyesalan

Hanya sebatas masa lalu tanpa keistimewaan

Biarkan mereka berkata aku adalah batu

Keras dan tidak berperasaan

Penilaian yang indah tapi tidak bijaksana

Ribuan kata maaf tertelan kesombongan

Hidupku adalah milikku

Pagar tinggi kokoh jangan kalian mencoba menerobos

Sebisa agar kita tak bersinggungan

Kesakitan abadi biarlah apa adanya

Bahkan

Untuk hati yang terluka aku tak akan membuat kalian merasa hal yang sama


Jalan Yang Kutempuh Buntu

Langkah kaki gemetar menapaki daerah asing

Tidak ada bangunan rumah, tidak ada keramahan

Tidak ada keluarga, tidak pula kehidupan

Basah tanah terakibat oleh rintik hujan

Aroma asri, namun tak nampak tanda keindahan

Kabut, semua gelap tak terkecuali lima langkah didepan kakiku berdiri

Tanpa kepastian kecuali mengikuti naluri dari alam

Penerangan ? apa kau sedang mengejekku

Lampu-lampu minyak bahkan tidak ada yang terlihat

Pijaran belas kasihan alam

Satu-satunya pemberi kebaikan

Untuk apa aku mau?

Untuk apa aku bersusah berjalan sendiri?

Untuk kamu aku menjari, teman untuk melangkah berdua

Penyesalan, Sampai Kapankah?

Tidak lagi aku menemukanmu

Dibawah sinar matahari yang terang

Ataupun atas petunjuk bulan

Beribu bis aku tumpangi untuk menujumu kembali

Banyak pesan aku kirim agar kau mau lagi mengerti

Terlambat? Itukah yang terjadi

Wujudmu yang nyata tak lagi terlihat

Suaramu yang lantang, tak lagi menyentuh gendang telinga

Dunia terbalik, apakah mungkin?

Namun bawahku sekarang adalah atasku dahulu

Goncangan dahsyat telah ku perbuat pada bumi setelah waktu itu

Ketika satu sentuhan memecahkan ringkih hati yang kau bilang tombol abadi

Hancur, begitu pun dengan engkau

Perlahan memudar seiring langkahku menjauh penuh sesal

Pencarian pada kedamaian telah lewat 1000 malam

Harapan menemukanmu di balik kesenduan kuat terjaga

Yang Tertegar

Ku hela nafas lebih dalam
karena yang jadi cuma luka
ku berlangsung lebih lambat
karena terkendala rasa kecewa

Ku tertawa tambah lebar
agar jadi penawar hati yang terkekang
ku lantunkan nada-nada syahdu
untuk sedikit menghindar emosi yang mengadu

Semangatmu lemahkan ku
turunkan obsesi dalam benak ku
sedih ini jadi tak tertahan
dan ketegaranku jadi sangsi yang tercipta

Tak perli ku ungkapkan
betapa lelahnya sebuah penantian
dan kaki ini amat jauh melangkah dalam hidupmu
lemah, gundah, tangis dan lelah
menyatu jadi air mata yang mematikan rasa

Pergi untuk Kembali

Aku pergi…
Aku pergi meninggalkanmu
Rasa ini sakit seperti tertusuk
Tetapi rasa ini mampu ku pendam

Mungkin sebenarnya itu menyakitkanmu
Tapi inilah aku…
Seorang yang takut…..
Takut membuatmu lebih sakit

Biarkanku sebentar pergi…
Dan pergi untuk kembali

 

[adsenseintext]

Hujan Tangis ini

Gelombang tinggi yang mempunyai duka
Hempaskan seluruh tanpa rasa
Hujan tangis yang menggelegar
Bagai guntur yang membelah angkasa

Kisah ini…
Hujan tangis ini…
Sisakan luka pedih yang mendalam
Hancurkan jagad raya

Alam bagai murka pada mereka
Tegur mereka tanpa kasih
Akankah mereka sabar?
Akankah mereka sadar murka alam ini?
PERIH | Rahmat Kurniawan

Dukaku memuja dunia bersama indah
Lukaku memahat ukiran sejati
Biar tak seorangpun tau bahwa
aku kecewa pada kisahku
yang mempunyai perih

Apakah aku insan yang tak tau diri?
Hingga berasumsi cinta bersama hati
bukan bersama mata
Merasakan cinta bersama perasaan
bukan bersama logika

Bahkan aku hingga kehilangan akal sehat
hingga membuatku tenggelam
pada kehancuran
dan kegalauan hidup
Perih yang ku rasa seakan tak mampu kujalani
Aku patah bersama segenap sayap-sayap palsuku
Aku mati bersama segenap nyawaku yang rapuh

Tapi, tak kan ku tangisi karna inilah takdirku
Aku perlu miliki kebiasaan bersama duka
Karena luka adalah duka
Dan duka adalah aku.

Saat Aku Melupakan

Saat aku jadi menapaki sisa sementara ini
Saat aku sudah menyerah bersama penantianku sendiri

Yang aku sadar barangkali sekedar sekedar kata perpisahan
Dan itu cuma aku simpan dalam hati ini saja

Melihat senja itu tiba , merekalah saksi bisuku
Menatap kerlip bintang , merekalah yang tahu

Tentangku yang kini cuma jadi seorang pecundang
Yang serupa sekali tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan

Disisa detik yang tersedia kini
Biarkan pena ini menuliskan sajaknya

Menuliskan apa yang selama ini sudah menjadikan aku pecundang
Menggambarkan betapa beratnya bebanku
Saat aku perlu mempunyai rasa ini kemana-mana

Beratnya rasaku ini yang senantiasa aku sembunyikan dan senantiasa membawaku kedalam imajinasi yang menyakitkan
Beratnya rasaku ini yang senantiasa mengupayakan aku tenangkan sementara inginkan memberontak terlihat

Hingga kini …

Perpisahan termanis yang akan datang didepan mata ini
Dimana aku akan melihatmu disana

Melihatmu bersama jas hitam
Melihatmu bersama seulas senyum mu
Melihat tawa mu

Dengan seluruh yang mampu aku laksanakan sekedar mehana air mata

Kamulah hanya satu yang jadi alasanku
Satu-satunya yang lumayan berasal dari aku untuk menghancurkan hatiku

Tanpa Judul

Terdiam merenung sendu
Ku bersenandung rindu
Terbayang perjalanan waktu
Sebuah kisah era lalu

Tiada kembali nyanyian surga
Tiada lage penghibur lara
Tiada lage damai dalam jiwa
Hanya tersedia Bintang penuh derita
Hanya tersedia Langit yang kian terluka
Seakan hendak berkata
Inilah nafas Kehidupanku

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ