Naya dan Ifah

PAGI itu Naya ingin bersiap-siap pergi berangkat ke sekolah. Walaupun saat itu ia masih mematutkan diri di depan cermin sambil menyisir rambutnya yang panjang. Tapi ketika mendengar ucapan Bunda ia langsung terhenti sejenak menyisir rambutnya.
“Bagaimana, kamu mau berangkat sekolah juga atau tidak?” ucap Bunda mencoba membuat sebuah pilihan pada Naya.
“Iya, Bunda. Aku mau sekolah!” jawab Naya datar.
Hari itu adalah hari pertama Naya masuk di sekolah baru. Ia dulu tinggal di Semarang. Sekarang karena mengikuti Ayah pindah dinas kerja di Jakarta akhirnya Naya pun ikut pindah sekolah pula.
Akhirnya Bunda pun mengantar Naya ke sekolah barunya itu. Pagi yang ceria pun sudah siap menyambut Naya.
Tidak berapa lama kemudian Bunda yang mengantarkan Naya pun tiba di sekolah. Dengan gontai Naya pun melangkah ke sekolah itu. Lalu ia menyusuri koridor sekolah sambil mencari kelasnya. Ternyata sekolah barunya itu cukup besar dan banyak ruang kelas. Dan itu membuat ia kelelahan mencarinya.
“Lho, kamu kok masih di sini. Bel sekolahkan sudah berbunyi?” tanya seorang anak gadis seusia Naya.
“Ma-maaf aku anak baru! Aku anak pindahan. Aku sedang mencari kelasku! Tapi aku bingung. Kelasku yang mana ya?” jawab Naya pada anak itu.
“Oh, jadi ini ya anak baru pindahan itu. Kenalkan aku Ifah. Aku ketua kelas VA. Ternyata ini teman sekelasku yang baru dan selalu juara terus jika lomba mengarang itu,” puji Ifah.
Naya sejenak diam. Ia heran dengan Ifah, teman barunya itu bisa mengetahui dirinya. Jika ia adalah siswa yang jago mengarang.
“Tidak usah heran denganku. Aku tahu kamu semua itu karena dari Bu Puji, wali kelas kita nanti,” Ifah akhirnya menjelaskan.
“Oh.” Naya lega mendengarnya.
Ilustrasi%2BCerita%2BAnak%2BPadang%2BEkspress%2Bedisi%2BMinggu%2B12%2BNovember%2B2017
Akhirnya kelas yang dicari-cari Naya pun ketemu. Ia sekarang sudah duduk di bangku bersama Ifah si ketua kelas dan sebangku pula.
Hari itu tepat pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran yang sangat disukai Naya. Tapi ia tidak begitu semangat mengikuti pelajaran di kelas. Dan hal itu pun mencuri perhatian Ifah.
“Kamu kok tidak mengeluarkan buku tulis, Nay? Bukannya ini mata pelajaran kesukaanmu. Kenapa sekarang tidak semangat,” ujar Ifah.
“Aku malu! Nanti aku ditertawakan oleh teman-teman sekelas jika anak pindahan ternyata anak aneh. Karena aku menulis memakai tangan kiri,” Naya akhirnya mengatakan sebenarnya yang terjadi pada Ifah.
Ifah yang pertama kali mendengarnya pun terkejut. Ternyata teman sebangkunya itu bertangan kidal.
“Apa karena kamu malu dengan tangan kidalmu itu. Jika kamu malu tidak apa-apa aku memaklumi kamu. Biarlah nanti aku pinjami bukuku agar kamu salin di rumah,” Ifah ternyata mau memaklumi teman barunya itu. Ia mau meminjami bukunya untuk disalin nanti.
“Terima kasih ya, Fah! Aku minta maaf jika sudah merepotkan kamu,” ucap Naya pelan.
“Tidak apa-apa! Aku senang kok membantu kamu,” Ifah akhirnya menyerahkan buku tulis itu pada Naya. Apalagi bel istirahat sudah berbunyi.
Esokkan harinya Naya, tidak sekolah. Buku yang ia pinjam dari Ifah dikembalikannya seusai sepulang sekolah. Apalagi besok buku itu akan dipakai oleh Ifah. Biar bagaimanapun Naya harus mengembalikannya tepat waktu.
Akhirnya Naya pun pergi menuju ke rumah Ifah. Terlebih dulu berpamitan pada Bunda jika sore itu Naya akan ke rumah Ifah.
Setiba di rumah Ifah akhirnya Naya pun menemui Ifah. Saat itu Ifah sedang ada di teras depan rumah. Naya pun langsung menghampiri Ifah.
“Maaf aku baru mengembalikan buku yang kupinjam dari kamu,” ujar Naya.
“Oh, terima kasih. Kamu tidak usah repot. Seharusnya aku yang ke rumah kamu,” jawab Ifah ramah.
“Nggak apa-apa, kok, Fah! Oya, ini buku kamu yang aku pinjam.”
Akhirnya mereka berbicara di depan teras rumah.
“Oya, kenapa kamu tadi di sekolah?” tanya Ifah mencoba mencari tahu.
“Aku malu! Apalagi kalau nanti aku sedang menulis. Pasti teman-teman akan mengatakan aku anak aneh karena dikutuk oleh penyihir,” Naya pun mengungkapkan apa yang menjadi pikirannya. “Apalagi aku anak dari daerah. Tentu mereka akan mengatakan seperti itu.”
Ifah yang mendengarnya hanya tersenyum-senyum saja.
“Ha-ha. Kamu ada-ada saja, Nay! Seperti di buku dongeng saja.”
“Kamu tidak usah seperti itu. Jika ada yang meledek kamu seperti itu ada aku! Aku akan membela kamu,” pungkas Ifah menghibur Naya. “Kalau begitu terus kamu akan ketinggalan pelajaran.”
“Iya benar apa kata Ifah! Dulu anak kesayangan Mama ini dulu seperti kamu. Menulis dengan tangan kiri. Jika kamu tahu Ifah dulu seperti kamu. Tapi ia rutin memeriksakan dirinya ke dokter spesialis syaraf. Saat ia tahu kalau dirinya bukanlah kidal karena cacat apalagi kelainan. Ia terus berlatih menulis dengan tangan kanan. Akhirnya ia bisa menulis tangan kanan. Walaupun tangan kirinya lebih dominan untuk menulis. Siapa tahu Ifah bisa berbagi tentang masalah itu pada kamu, Nay. Lagi pula Allah memberikan keistimewaan itu pada kita pasti ada tujuannya,” Mama Ifah akhirnya menceritakan itu semua pada Naya.
Naya yang mengetahui itu akhirnya memeluk Ifah. Naya terharu karena Ifah dan Mamanya begitu perhatian padanya.
Usai mendengar ucapan Mama Ifah itu Naya pun berjanji. Naya akan berusaha belajar menggunakan tangan kanan saat menulis. Jadi tidak salahnya jika ia menerima kebaikan Ifah itu.
Apalagi sekarang ia memiliki sahabat dalam berbagi suka dan duka. Walaupun hanya hitungan jari Naya mengenal Ifah. Tapi Naya sudah menganggap Ifah adalah sahabat yang tulus untuk berbagi. Apalagi mereka sama-sama bertangan kidal. ***
Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Kak Ian
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Padang Ekspres” 12 November 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ