Menanam Pohon Puspa

“BANYAK sekali, Kak, semuanya ada sepuluh? Bibit tanaman ini mau ditanam di mana?” ujar Dayat pada Kak Wira. Bibit tanaman itu ada di dalam polybag. Dayat bingung, halaman rumahnya di Jalan Pajajaran, Branangsiang, Bogor, tidak terlalu luas dan sudah dipenuhi pot-pot bunga kesayangan ibu.
“Ini bibit tanaman puspa, bukan untuk ditanam di halaman. Dayat ikut Kakak saja ke hutan besok pagi? Seru, lho,” jawab Kak Wira penuh rahasia. Setiap akhir bulan, kakaknya yang sudah kuliah itu selalu pergi ke hutan di sekitar Bogor.
“Memang di hutan ada apa, kok seru, Kak?” tanya Dayat agak enggan.
“Itu karena Dayat belum tahu saja. Nanti Kak Wira tunjukkan, pasti Dayat suka!” ujar Kak Wira. Dayat pun mengangguk.
Esok harinya, Dayat mengikuti Kak Wira ke Telaga Saat, Kabupaten Bogor, yang lokasinya sekitar 1 jam berkendara mobil dari rumah mereka. Kak Wira mengajak Dayat menuju hutan di sekitar Telaga Saat sambil membawa bibit tanaman puspa.
Kak Wira menggali lubang. Dayat membantu memasukkan bibit pohon puspa ke dalam lubang itu. Bibit pohon itu dipegangi Dayat sampai Kak Wira selesai menimbun lubang tanam, agar pohon puspa itu nanti tumbuh lurus. Setelah selesai, Dayat yang kecapaian lalu berteduh di bawah pohon puspa yang belum terlalu tinggi.
“Kalau duduk di bawah pohon begini, memang sejuk ya, Kak,” ucap Dayat.
“Dayat tahu sebabnya?” uji Kak Wira tersenyum.
Ilustrasi%2BCerita%2BAnak%2BNusantara%2BBertutur%2BKompas%2Bedisi%2BMinggu%2B26%2BNovember%2B2017%2Bkarya%2BRegina
“Iya, Kak, karena pohon ini menyerap karbondioksida dan mengeluarkan oksigen. Tapi, kenapa menanam pohon puspa, Kak? Dan, serunya di mana?” ujar Dayat.
“Pohon puspa cocok ditanam di tepian sungai. Akarnya akan membantu penyerapan air sehingga bisa menjadi cadangan air saat musim kemarau. Pohon puspa bisa tumbuh sampai 45 meter atau lebih, lho,” Kak Wira menjelaskan.
“Wah, tinggi sekali ya, Kak?” Dayat tercengang.
Tiba-tiba Dayat melihat burung besar berwarna kuning kecoklatan sedang terbang melayang di atas mereka.
“Kak, lihat! Burung itu besar dan gagah ya?” Dayat yang suka dengan burung langsung bersemangat. “Bentuknya seperti burung garuda, lambang negara kita.”
“Itu burung elang jawa yang langka. Burung itu senang bersarang di pohon puspa karena tingginya,” Kak Wira lalu menjelaskan.
Dayat pun terkagum-kagum menyaksikan burung elang jawa itu. Ia kini paham, mungkin inilah yang dimaksud kegiatan mengasyikkan oleh kakaknya.
“Dengan menanam pohon puspa, selain kita mendapat cadangan air saat kemarau, kita juga bisa membantu melestarikan elang jawa yang merupakan satwa langka di negara kita,” ujar Kak Wira kemudian.
Dayat mengangguk. “Bulan depan, Dayat ikut menanam pohon lagi, ya, Kak? Seru sekali, bisa menanam pohon sambil menonton burung elang jawa terbang.”
Kak Wira mengangguk sambil tersenyum. 
Rujukan:  
[1] Disalin dari karya Tyas KW
[2] Pernah tersiar di surat kabar “Kompas” rubrik Nusantara Bertutur edisi Minggu, 26 November 2017

You might also like

Hidup kita itu sebaiknya ibarat “Bulan 🌙 & Matahari” 🌞 dilihat orang atau tidak, ia tetap Bersinar. di Hargai orang atau tidak, ia tetap menerangi. di Terima kasihi atau tidak, ia tetap “Berbagi” ツ